JURNALISME WARGA
Perempuan Pemulung Laut di Kendari Tak Tersentuh Bantuan
Oleh Rijal Yunus
Sejumlah perempuan pemulung laut di Kendari, Sulawesi Tenggara,tidak menjadi prioritas penerima bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin. Bahkan, di masa pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, mereka tidak mendapat bantuan sama sekali. Kondisi ini menyebabkan kehidupan semakin sulit di tengah permasalahan kesehatan dan berbagai beban rumah tangga.
Moming (65), warga RT 11/RW 05, Kelurahan Petoaha, Kendari, salah seorang pemulung laut menuturkan, dua tahun terakhir, ia dan keluarganya tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Selama ini, ia hanya mengandalkan penghasilan dari memulung, dan melaut suaminya.
“Tapi sebulan ini saya tidak pergi memulung. Kaki saya sakit,” kata ibu tujuh anak ini sembari memegang kaki kirinya, Kamis (9/12/2021). Kakinya tidak bisa tertekuk akibat penyakit stroke yang diderita.
Selama 14 tahun terakhir, Moming rutin ke laut mencari sampah plastik. Sebuah sampan sepanjang dua meter, dengan Lebar 0,5 meter, menjadi akomodasi utama mencari sampah. Sejak pagi, ia mendayung sampan menuju Teluk Kendari, bahkan hingga di muara teluk. Ia menyusuri tepian untuk mencari sampah terbawa arus.
Sampah itu dikumpulkan setiap hari, lalu dijual ketika dirasa cukup. Pengumpulan biasanya dalam rentang tiga hingga empat pekan. Dalam satu kali penjualan, ia rerata mendapat sekitar Rp 400.000. Uang tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, utamanya membeli makanan.
Pendapatan Ali (69) suaminya, bergantung cuaca dan musim. Sebagai nelayan kecil, mendapat satu hingga dua kilogram ikan di teluk sudah lumayan baik. Saat musim ombak tinggi, ia terpaksa tidak melaut.
Saat ia dan suaminya tidak melaut, lanjut Moming, ia bergantung ke anak dan menantunya yang tinggal serumah. Di kediaman Moming yang berdinding papan itu dihuni tujuh orang lainnya. Selain suami, anak dan menantunya, tiga orang cucunya menetap di rumah yang telah dihuni puluhan tahun.
“Saya pernah dapat Bantuan Langsung Tunai tahun 2018 lalu. Tapi habis itu tidak pernah dapat lagi,” katanya. Ia sangat berharap bisa ikut mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti warga lainnya. Bantuan itu bisa meringankan beban sehari-hari, utamanya untuk kebutuhan makan keluarga.
Pemulung lainnya, Hanafiah (60) menceritakan, ia rutin menyetor berkas saat diminta oleh pengurus lingkungan setempat. Meski begitu, janda yang tinggal seorang diri ini tidak kunjung menerima laporan adanya bantuan atas nama sendiri.
Selama ini, ia bertahan hidup mengandalkan sampah plastik di laut. Setiap hari ia rutin keluar mengayuh sampan mencari plastik di laut. Ia hanya berdiam di rumah saat sakit, atau ada urusan mendadak.
“Kalau tidak keluar kita tidak makan. Karena cuma dari situ yang kita harapkan,” katanya.
Jika musim ombak tinggi, tutur Hanafiah, ia turun ke laut di depan rumahnya untuk mencari kerang atau ikan. Sebagian hasil yang diperoleh dijual, dan setengahnya lagi dibawa pulang untuk dimakan.
Meski belum mendapatkan bantuan, ia berusaha sabar dan berserah. Ia tidak pernah tahu apakah data yang telah dikumpulkan telah diverifikasi ke pemerintah pusat, dan tidak terkendala. Ia tidak tahu cara mengurus berkas dan terkendala biaya.
Marniati (39), koordinator Kelompok Pemulung Laut Petoaha mengungkapkan, dari 10 orang anggota, sedikitnya lima orang di antaranya tidak mendapat bantuan. Padahal, kondisi mereka sangat membutuhkan bantuan, terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Ibu dua anak ini menuturkan, pendataan untuk penerima bantuan rutin dilakukan. Permintaan untuk menyetor Kartu Keluarga (KK) untuk disetor ke pemerintah juga telah diikuti. Akan tetapi, mereka tidak kunjung menerima bantuan.
“Mau bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT), atau yang lain tidak ada sama sekali. Kami hanya dapat sekali-kali bantuan beras dari pembagian instansi-instansi,” katanya.
Menurut Marniati, ia tidak mengetahui di mana letak permasalahan sehingga ia dan rekan-rekannya tidak mendapatkan bantuan. Ia juga merasa malas untuk menanyakan permasalahan karena berbagai kendala.
“Pagi sampai siang kami cari sampah. Habis itu memasak untuk keluarga. Sore mengatur dan memilah sampah. Mana sempat kami pergi urus kartu-karut begitu,” ucapnya.
Untuk ke kantor kelurahan atau kecamatan, mereka harus mengeluarkan biaya. Sewa ojek, mengantre, biaya fotokopi, memerlukan biaya di atas Rp 50.000. padahal, nilai itu cukup untuk makan keluarga selama tiga hari.
Pendataan
Berbagai permasalahan di lapangan membuat masyarakat kecil yang paling bawah tidak menjadi prioritas penerima bantuan. Permasalahan itu mulai dari pendataan, data yang tidak sinkron, hingga informasi yang tidak disebarluaskan
Sujiatno (30), salah seorang petugas Puskesos Kelurahan Petoaha mengatakan, salah satu permasalahan yang paling sering ditemui adalah data warga tidak tervalidasi di kementerian. Padahal, data tersebut telah diinput dan disetor ke dinas terkait.
“Data semua warga itu harus di-online-kan agar terbaca di kementerian. Biasanya data tidak bisa valid kalau ada yang bermasalah di Kartu Keluarga,” ucapnya.
Permasalahan tersebut berupa data ganda, Nomor Induk Keluarga (NIK) yang berbeda di KK dan KTP, nama yang berbeda, atau KK yang belum diperbaharui. Semua hal ini harus segera diubah agar data bisa sinkron dan valid.
Di Kelurahan Petoaha, sambung Sujiatno, telah ada 7.100 data warga yang terinput dan dinyatakan sinkron hingga ke data pusat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 315 keluarga merupakan penerima bantuan baik itu PKH, BPNT, hingga yang terakhir adalah bantuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Meski begitu, ia belum mengetahui berapa data pasti warga yang data kependudukannya masih bermasalah.
“Pihak kelurahan dan kecamatan sudah mengistruksikan agar warga segera mengurus data ke kantor setempat. Untuk warga yang mengurus keperluan bantuan sosial, dijamin akan diprioritaskan,” katanya.
Di satu sisi, ia paham kesulitan warga untuk mengurus administrasi ke kantor pemerintah. Selain butuh waktu, masyarakat harus meninggalkan pekerjaan harian yang menjadi pendapatan utama. Ia berusaha membantu jika ada yang meminta tolong untuk pengurusan.
“Tapi kerjaan saya bukan cuma itu. Harus input data semua warga secara manual. Apalagi bantuan ini banyak macamnya,” tutur Sujiatno.
Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kendari Ishak Bulo menyampaikan, semua bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah diperuntukkan kepada masyarakat miskin. Bantuan ini menyasar mereka yang paling sulit secara ekonomi, terbatas secara akses, dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.
“Baik itu PKH, hingga BPNT, semuanya untuk Masyarakat kecil. Termasuk juga kelompok pemulung laut yang ada di pesisir Kendari,” kata Ishak.
Jika selama ini mereka tidak mendapatkan bantuan, ia menduga data warga tersebut tidak tervalidasi hingga ke data pusat. Akibatnya, meski berkali-kali dimasukkan, nama warga tidak masuk sebagai penerima bantuan.
Ia menyarankan agar warga segera mengecek data administrasi, untuk melihat apakah semua informasi yang dimasukkan telah sinkron satu dengan yang lainnya. “Kalau pun juga datanya benar, memang bisa saja belum rezeki juga. Ini Kan yang menentukan bukan kita, semuanya dari pusat,” ucapnya.
Ketua Kelompk Perempuan Pesisir Mutmainnya menyampaikan, sejumlah permasalahan ditemukan terkait penyaluran bantuan sosial ke masyarakat miskin. Selama ini, banyak dari perempuan yang juga kepala keluarga tidak tersentuh bantuan bertahun-tahun lamanya. Mutmainnya aktif mengorganisir perempuan pekerja informal, pemulung, dan ibu rumah tangga di pesisir Kendari. Sebagian dari mereka adalah kepala keluarga, juga warga lanjut usia.
Berdasarkan penelusuran awal, sedikitnya ada 20 keluarga dari organisasi yang terkendala dalam menerima bantuan. “Sejauh ini, ada enam orang pemulung yang tidak mendapatkan bantuan, atau telah masuk dalam daftar tapi tidak bisa mencairkan,” katanya.
Oleh karena itu, saat ini ia sedang mengumpulkan data dan permasalahan yang dihadapi para masyarakat kecil yang tidak kunjung menerima bantuan. Ia berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada masyarakat miskin agar tidak semakin terbebani kebutuhan dasar, terlebih di masa pandemi Covid-19.