TEMUAN
Kontroversi Vaksin Nusantara
Jakarta. 16 April 2021 – Pengembangan Vaksin Nusantara, yang diinisiasi eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, terus berlanjut. Anehnya, pengembangan vaksin yang seharunya didasari prinsip sains justru menjadi politis dengan menguatnya dukungan dari anggota DPR RI. Bahkan, sejumlah anggota DPR, yang sebelumnya telah divaksinasi dengan Vaksin Sinovac, mengaku telah menjadi sukarelawan Vaksin Nusantara. Padahal, vaksin yang dikembangkan RSPAD Gatot Soebroto, RSUP Dr. Kariadi Semarang dan Universitas Diponegoro ini masih belum kelar perizinannya, karena adanya berbagai masalah.
Pertama, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan, produk vaksin dibuat tidak sesuai kaidah. Misalnya, kondisinya tidak steril, tidak ada standarisasi dan validasi dalam metode pengujian, serta pencatatan data yang tidak konsisten.
Selain itu, sebanyak 71,4 persen dari 28 subyek pengujian mengalami kejadian tak diinginkan dalam tingkat 1 dan 2. Misalnya, nyeri lokal, nyeri otot, nyeri kepala, nyeri sendi, lemas, batuk, demam hingga mual. Enam subyek penelitian mengalami kejadian tak diinginkan pada tingkat 3, seperti peningkatan kadar natrium dan kadar ureum dalam darah serta kolesterol.
Kedua, berbagai temuan itu membuat BPOM belum mengeluarkan izin uji klinis fase II. Bahkan, BPOM meminta uji praklinik diulang. Ajaibnya, sejumlah anggota Komisi IX DPR RI dan politisi yang telah menerima Vaksin Sinovac justru mengaku mengikuti tahapan untuk menjalani vaksinisasi dengan vaksin Nusantara. Mereka mengaku telah diambil sampel darah untuk diolah dengan sistem dendritic cell dan rencananya akan dimasukkan lagi setelah sepakan. Sikap ini seperti menantang otoritas BPOM yang hingga saat ini belum memberi izin uji klinis fase II. Padahal, menurut Peraturan Kepala BPOM RI No. 9 Tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik, pihak pelaksanan yang melanggar keputusan BPOM terkait uji klinik dapat dikenai sanksi administratif. Sanksi dapat juga berupa pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan terhadap Uji Klinik yang mengakibatkan bahaya bagi keselamatan manusia, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan hidup, kerukunan bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara.
Ketiga, Vaksin Nusantara tidak sesuai dengan kebutuhan vaksin COVID-19 yang bersifat massal. Vaksin ini menggunakan campuran sel dendritik dari setiap sasaran vaksinasi, antigen SARS-CoV-2 spike protein, dan GMCSF (sarmogastrim). Vaksin ini sangat individual karena kebutuhan setiap orang akan diciptakan dari satu produk sel dari dirinya.
Proses yang rumit itu sulit menjawab kebutuhan vaksinasi massal. Tidak heran, belum ada perusahaan vaksin besar yang ikut mengembangkan vaksin jenis serupa. Berdasarkan data vaccine tracker (pelacak vaksin), selain Vaksin Nusantara, vaksin berbasis dendritik untuk COVID-19 ini hanya dikembangkan oleh satu perusahaan rintisan (startup) di China.
Keempat, penamaan Vaksin Nusantara yang seolah mengambil jargon karya anak bangsa tidak sesuai fakta. Penelitian vaksin yang disponsori PT Rama Emerald atau PT Aivita Indonesia bekerja sama dengan Balitbangkes Kemenkes ini mengambil bahan impor dari Amerika Serikat. Bahan itu antara lain antigen, GMCSF, medium pembuatan sel, dan alat lain untuk persiapan. Jadi, benarkah Vaksin Nusantara dari anak bangsa dan untuk bangsa? Atau sekadar kelakar belaka? Sains akan menjawabnya dengan bukti lampu hijau dari BPOM.*
Referensi:
https://tirto.id/sudah-divaksinasi-anggota-dpr-ikut-lagi-vaksin-nusantara-terawan-gcpD