LaporSehat

Buruknya Transparansi, Perparah Penanganan Pandemi

Catatan 6 bulan Penanganan Pandemi

SIARAN PERS

Buruknya Transparansi, Perparah Penanganan Pandemi

 

11 September 2020 – Pemerintah dinilai belum memberikan informasi yang transparan mengenai dampak dan penanganan wabah. Buruknya pendataan, pelaporan dan informasi yang disampaikan, terutama terkait dengan hasil tes, tracing, dan angka kematian ke publik mempengaruhi persepsi dan respon publik. Ketidaktransparaan juga terjadi di lingkungan sekitar dan pekerjaan, sehingga menyebabkan kebingungan dan ketidakpercayaan publik.

Mempertimbangkan masifnya keluhan masyarakat di tengah pandemi, LaporCovid-19 membuat layanan lapor warga yang menjangkau seluruh wilayah di Indonesia. Melalui layanan lapor warga, LaporCovid-19 mendapat ribuan laporan dari seluruh Indonesia, mulai dari keluhan keramaian, pelanggaran protokol kesehatan, stigma, bantuan sosial, hingga munculnya kluster-kluster baru di perkantoran dan sekolah.

Layanan lapor warga LaporCovid-19 mulai berjalan pada April 2020 dengan menggunakan aplikasi Whatsapp dan Telegram, kemudian berkembang ke kanal seluruh media sosial. Selama April Juni, lebih dari 4,000 laporan warga masuk melalui chatbot kami. Setelah perubahan pertanyaan menyesuaikan dengan kebijakan, periode Agustus- 9 September 2020, telah terkumpul 386 laporan.

Sesuai dengan episentrum pandemi, laporan yang masuk didominasi wilayah Jawa, khususnya DKI Jakarta, kemudian diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten. Sementara berdasarkan jenis laporan, pelanggaran protokol kesehatan paling banyak dilaporkan (63 persen), diikuti layanan kesehatan.

Laporan tentang pelanggaran protokol kesehatan meliputi keramaian atau kerumuman, serta ketertiban pemakaian masker. Laporan tentang kluster perkantoran juga muncul banyak pada beberapa minggu terakhir. Sebagian besar membahas tentang transparansi informasi dan tracing orang-orang yang kontak dengan pasien, tidak dilakukan dengan maksimal. Sebagian besar laporan memberikan gambaran tentang adanya kasus positif di sebuah kantor, namun tidak ada transparansi dari kantor serta penegakan protokol pandemi.

Selain itu, ada pula laporan tentang penolakan tes SWAB, hingga penundaan tes karena alasan kehabisan alat tes. Untuk kasus sekolah, banyak orangtua melaporkan tentang dibukanya kembali sekolah-sekolah di zona berisiko tinggi terinfeksi, seperti di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan Kota Tuban, Jawa Timur.

Permohonan Keterbukaan Informasi publik

Data menunjukkan, jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 masih terus meningkat. Bahkan, menyentuh angka lebih dari 200.000 kasus di seluruh Indonesia dengan kenaikan konsisten di atas 2.000 kasus tiap harinya. Namun demikian, penularan virus di komunitas belum diketahui, karena angka yang dilaporkan ibarat fenomena gunung es karena keterbatasan pemeriksaan yang dilakukan. Masalahnya, hingga saat ini hanya beberapa daerah yang konsisten melaporkan jumlah orang yang diperiksa, salah satu di antaranya DKI Jakarta. Laporan WHO terhadap kondisi Indonesia pada 9 September 2020 juga menyebutkan, baru tiga daerah yang sudah memenuhi jumlah tes, yaitu Jakarta, Sumatera Barat, dan Yogyakarta. Ini menyebabkan banyak masyarakat saat ini menghadapi ancaman wabah tanpa mengetahui skala bahaya di sekitarnya.

Demikian halnya, angka dan data kematian ternyata bermasalah. Data pemerintah daerah berbeda dengan pemerintah pusat. Bahkan, data nasional pun ada beberapa versi. Pencatatan oleh Rumah Sakit Online menunjukkan, jumlah korban jiwa terkait COVID-19 rata-rata hampir tiga kali lipat dari yang dilaporkan secara resmi ke publik. Hasil kajian persepsi risiko warga DKI, Surabaya, dan Kota Bogor yang kami lakukan bersama tim Social & Resilience Lab, Nanyang Technological University, menunjukkan bahwa informasi dan pengetahuan warga tentang pandemi COVID-19 mempengaruhi persepsi risiko warga. Akibatnya, informasi tentang kecenderungan under reporting jumlah korban ini bisa menyebabkan masyarakat tidak mengetahui dampak sesungguhnya wabah dan menyebabkan kurangnya kewaspadaan terhadap pandemi. Karenanya penting bagi laporCovid-19 untuk terus mendorong keterbukaan informasi.

LaporCovid-19 telah mengajukan Permintaan Informasi Publik terkait COVID-19 ke berbagai institusi, termasuk Kementerian Kesehatan RI.

Ada delapan poin yang ditanyakan, yaitu data anggaran/pengadaan, pelaksanaan, dan sebaran tes, baik Rapid Test maupun PCR; jumlah ODP, PDP dan juga Suspek, Probabel yang meninggal, serta sebaran wilayahnya; dokumen dan pelaksanaan DIPA 2020; data terkait insentif tenaga kesehatan, serta informasi alokasi penggalangan dana hibah dari masyarakat.

Dari semua permohonan informasi tersebut, hanya informasi berupa ringkasan DIPA 2020 yang dipenuhi, beserta informasi tentang bantuan dana hibah dalam dan luar negeri, serta informasi tentang tata cara pemberian insentif bagi tenaga medis.

Permintaan data mengenai jumlah PDP/ODP meninggal hanya dijawab dengan menunjukkan link https://infeksiemerging.kemkes.go.id/downloads/?dl_cat=5#.X0NVONMzYyl dimana link tersebut tidak memuat kelengkapan data dan informasi yang diharapkan.

Anehnya, menyangkut permintaan data pelaksaan kegiatan Rapid Test dan PCR di tingkat daerah, Kementerian Kesehatan menyatakan tidak menguasai datanya. Justru mereka menyebutkan bahwa data tes itu terdapat di Gugus Tugas/Satuan Tugas Covid-19. Padahal, sebelumnya, Satgas dan Komite Penanganan Covid-19 & PEN telah melayangkan surat nomor S-01/PERPRES82/07/2020, perihal permintaan kelengkapan Data COVID-19 kepada Kemenkes.

Respons ini menunjukkan ketidakterbukaan pengelolaan dan pemberian informasi penting terkait COVID-19. Pemerintah tidak transparan dalam penanganan COVID-19 dan hal ini dikhawatirkan membuat masyarakat tidak memahami risiko penularan dengan baik, sehingga menghadirkan spekulasi dan hoax, yang, pada ujungnya, mempersulit pemutusan penularan COVID-19.

Karenanya, untuk memastikan penanganan pandemi di tengah masyarakat berjalan maksimal, beserta penyelesaian masalah, dan jaminan transparansi data di tengah pandemi, kami merekomendasikan pemerintah Republik Indonesia hingga pemerintahan tingkat daerah dua hal utama:

  1. Segera membentuk jaringan pelaporan warga mulai tingkat daerah hingga nasional. Diperlukan kerjasama seluruh pihak, baik pemerintah ataupun swasta, agar semua permasalahan yang dihadapi segera diselesaikan.
  2. Pemerintah Indonesia, termasuk Satuan Tugas Covid-19, harus membuka seluruh data terkait pandemi, mulai dari tingkatan daerah hingga nasional.

Keluhan masyarakat tidak akan berhenti selama pandemi, mengingat tidak ada yang luput dari dampak wabah COVID-19. Kehadiran pemerintah sangat diperlukan seluruh masyarakat Indonesia. Demikian pula, transparansi data pandemi tidak dapat ditawar, sebab penting untuk melihat tingkat keparahan pandemi, sehingga dapat dijadikan referensi pengambilan kebijakan.

Narahubung:

Agus Sarwono: 0812-6992-667

Yoesep Budianto: 0856-4897-3423

 

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut

Share the Post:

Related Posts